Thrips merupakan salah satu jenis hama yang menyerang tanaman cabai. Sartiami and Mound (2013) mengungkapkan bahwa Thrips yang telah teridentifikasi di dunia ini sekitar 6500 spesies Thrips telah teridentifikasi, dan 448 spesies telah teridentifikasi di Indonesia. Thrips parvispinus Karny merupakan spesies Thrips yang menjadi hama utama tanaman cabai (Mound and Collins, 2000).
Tanaman lain yang menjadi inang T. parvispinus diantaranya tanaman pepaya, rambutan dari kelompok buah-buahan, anggrek dan mawar dari kelompok tanaman hias, jagung dari kelompok tanaman pangan, tembakau dari kelompok tanaman perkebunan, putri malu dari kelompok gulma, serta ketumbar, selada, katuk dan lenca dari kelompok sayuran (Sartiami dan Mound, 2013).
Kementerian Pertanian menempatkan Thrips sebagai organisme penyebab kerusakan cabai urutan kedua di Indonesia setelah Antraknosa yakni sebesar 22% (setara dengan luas pertanaman cabai 3.704,80 Ha) pada tahun 2018 dan 21% (setara dengan luas pertanaman cabai 2.961,54 Ha) pada tahun 2019.
Teknik pengendalian hama yang lazim digunakan petani di Indonesia adalah penggunaan bahan kimiawi. Upaya pengendalian yang dilakukan oleh petani terhadap Thrips adalah penyemprotan menggunakan pestisida kimia sintetik, padahal penggunaan pestisida kimia sintetik cenderung kurang efektif karena Thrips biasanya bersembunyi pada bagian daun atau pada bunga yang belum membuka sempurna sehingga sulit terkena percikan semprotan.
Selain itu, penggunaan insektisida berbahan aktif kimiawi yang secara terus menerus dapat menimbulkan efek resistensi dan resurgensi terhadap serangga hama dan matinya berbagai musuh alami serta dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan yang berdampak buruk terhadap kesehatan manusia (Untung, 2006).
Pengendalian dengan penggunaan varietas tahan dengan memilih varietas tanaman yang toleran terhadap serangan Thrips, baik ketahanan yang terbentuk dari segi morfologi, kimia, sampai dengan penggunaan tanaman hasil rekayasa genetik. Pengendalian secara kimia merupakan teknik yang paling sering digunakan, namun demikian insektisida hanya boleh digunakan jika ambang batas kerusakan ekonomi tercapai, aplikasinya harus akurat dan tepat saat digunakan agar musuh alami tidak punah.
Menurut Mouden et al. (2017), pengelolaan hama Thrips dapat dilakukan secara terpadu diantaranya: monitoring, kultur teknis, mekanis, fisik, penggunaan varietas tahan, kontrol secara biologi dan kimia. Monitoring hama Thrips dilakukan dengan pemasangan perangkap ikat kuning atau biru sebagai dasar untuk mengetahui tindakan pengendalian selanjutnya.
Pengendalian kultur teknis, mekanis dan fisik dilakukan dengan perbaikan teknik budidaya tanaman agar tercipta kondisi tanaman yang tidak disukai oleh Thrips, termasuk di dalamnya pengolahan tanah yang baik, pemupukan, penanaman tanaman perangkap maupun tumpangsari.
Tumpangsari adalah suatu bentuk pertanaman campuran yang memadukan dua atau lebih jenis tanaman pada suatu lahan pertanaman pada waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan. Pada tumpangsari, pengaturan tanaman dalam barisan diatur sedemikian rupa sehingga pertumbuhan tanaman optimal dengan adanya mikroklimat yang serasi (Purnomo et al., 2004).
Hasil penelitian Degri dan Ayuba (2016) menunjukkan bahwa tumpangsari cabai merah dengan jagung secara signifikan mengurangi infestasi kutu daun sekaligus meningkatkan hasil cabai merah.
Dari berbagai hasil penelitian dapat diketahui bahwa produksi kumulatif sistem tumpangsari lebih tinggi daripada sistem tanam tunggal, terutama bila spesies tanaman yang digunakan mempunyai sifat, morfologi dan fisiologi yang sesuai dan saling melengkapi.
Setiawati dan Asandhi (2003) melaporkan bahwa tumpangsari sayuran cruciferae dan solanaceae, mampu meningkatkan kelimpahan populasi musuh alami hama sekitar 19,17-32,19%, sehingga penggunaan insektisida dan fungisida dapat ditekan..Tumpangsari cabai, jagung dan semangka mempengaruhi kelimpahandan keanekaragaman Arthropoda tanah yang berpotensi menjadi musuh alami Thrips..